Rabu, 27 November 2013

*Pekat hitam Dilangit Jambore


Kelam hitam lintasan katulistiwa yang membahana diatas mega bertudung biru, selaput tipis halimun senja mulai menyibak, membayang-banyang tak bergerak di anjangsana. Lingkaran retina coklat berlatar sendu meliuk-Liuk meredam penat bercampur luka, hitam itu kini telah mewarnai corak negri tak berpelangi.

Rupaya si tembok kayu masih membatu. Didalam gelap, rentetan kumandang orasi masjid melintas bergemuruh tanpa bertanya. Raga ini mulai menutup lelah, menikmati panggalian nurani mencari makam dimana luka patah yang tersembunyi.

Dalam hitungan detik. Teleportasi sudah terjadi. Lingkungan ini sudah mulai berkamuplase menjadi hal-hal yang aneh dan penuh dengan misteri. Bajuku berbuku-buku dan selendangku bisa menari-nari, seakan mereka mempunyai jiwa yang hidup.

Mereka bisa bergerak, mereka bisa bicara mengungkapkan rasa, asa dan karsa. Mungkinkah itu hanya sebuah keinginan terpendam, aku menginginkan hal yang ajaib dan semua hal itu selalu patuh terhadap keingin pribadi yang kuat.

Mungkin kisah selendang hijau yang penuh dengan kekuatan misteri bisa merubah semua laku, dan sifat yang terpendam. Keinginan-keinginan frontal selalu memacu didalam deru. Beginilah kisah si selendang hijau. Ia merupakan kendaraan, sang petualang cinta yang terpendam.

Selendang itu bisa berubah menjadi sayap, seolah menggantikan posisi menjadi sesuatu yang tak terduga. Bahkan sayap ini bisa membaca pemilik hati yang tenggelam didalam kesepian.

 “Mau kemana hendak tuan kuantar” kata selendang hijau yang kupakai. Aku bilang padanya agar terbang tinggi dan bawalah aku kepulau yang paling terindah.

Selendang hijau itu terbang secepat angin, sehingga aku bisa melintasi gugusan pulau-pulau kapuk yang seakan tenggelam. Tibalah aku diatas sebuah pulau aneh, disana banyak berkumpul para wanita yang tak terbayang indahnya, mereka semua sangat muda, cantik dan juga bersinar. Aku tertegun, pulau apa gerangan yang dihiasi kubah-kubah cantik berwarna-warni. Kubah itu mengedip seperti batu delima yang bercahaya.

Ternyata selendang hijau paham dengan kebingungan yang aku rasa, ia langsung membentang panjang melebar dan menukik ke bawah. Sehingga aku terjatuh seperti anak kecil yang bermain gitar.

Aku terkejut, tangkapan selendang hijau sangat erat. Aku digenggam dan dibalut oleh sutra hangat disekujur tubuh. Perlahan-lahan selendang hijau merenggang, sehingga membawa aku kembali berdiri diatas sebuah tanah kusir yang tak bertuan.

Tanah ini beergetar, semua berbatu kerikil putih mengkilat serta mengeluarkan cahaya yang ajaib. Memang wujudnya putih bersih, tetapi mereka terkadang mengeluarkan cahaya yang berwarna-warni. Jika udara atau angin yang berhembus, sebagian batu ini mulai berwana kadang merah marjan, kadang hijau yagut, kadang kuning topas, atau biru tromalin.

Cahaya indah itu Ada juga yang mengikuti gerak langkah bayang-bayang lembayung rindang pepohonan hijau yang berurat emas. Mereka semua memancar. Sungguh mistis pulau dibawah katulistiwa. Selain sejuk indah berseri, hembusan angin juga sangat kekar harum mewangi. Hampir setiap kaki melangkah, aroma buhur turki ikut menjebak dan menggoda mengiringi jejak sang pejalan kaki.    
  
Tak terlalu jauh dari keindahan ini, suara-suara wanita muda terdengar. Sendau-gurau mereka manja menggema halus sampai dihati. Hati ini tak merasa gentar, ingin menyingkap permainan apa yang mereka lakukan dibibir sungai. Suara manja terdengar sangat riang, tak ada kata kasar maupun nada tinggi yang menujukan kemarahan maupun kesombongan hati.

Dibalik dedaunan hijau yang bergelora itu, aku mengendap membuka sedikit demi sedikit tabir penutup dedaunan. Aku melihat pakaian mereka serba putih dan terhiasi oleh permata safir biru menyala. Batu itu menyala di sekitar rambut, tangan, telinga, leher dan kaki wanita-wanita indah ini.

Ada salah seorang dari mereka berbisik dengan temanya, dan teman satunya berkata dengan teman yang lainya. Mereka semua kembali ketepian sungai sambil menatap ke arah rindang pepohonan, mereka tahu keberadan tamu tak diundang. Dengan senyuman ramah, sambil melambaikan tangan, mereka memanggil, seolah mengajak bergabung dalam permainan yang mereka mainkan.

Aku terdesak untuk keluar dari rerimbunan hijau pohon tua, segera menujukan jati diri yang sebenarnya bersama kawalan si selendang hijau. Salah satu dari mereka datang meghampiriku, langsung melemparkan sebuah sambutan disertai senyuman. ”Kami sangat tersangjung atas keramahan tuan, yang telah sudi mampir ke pemukiman kami,”kata salah satu dari mereka yang belum aku kenali.

Tanpa ragu perempuan muda bercahaya dan mempesona ini, sungguh tak pernah aku bayangkan. ia langsung mengusapkan kedua tangan ke dadaku. Lalu mengusap wajahku. Dari jarak yang sangat dekat sehingga aku tak bisa bergerak, aku sungguh sangat terpukau oleh kecantikannya, dan sudah dipastikan senyuman mereka memanglah sangat indah.

Aku melihat senyuman yang ramah dari matanya yang sendu, seakan gelap cakrawala telah sirna dibalik roman biru katulistiwa, ia sangat puas setelah menyentuh wajahku. Sesekali lagi ia mengusapkan tanganya diwajah ini sambil memejamkan mata, ia menciumi kepalaku dan megakhiri dengan sebuah pelukan hangat dan erat. Memang rasanya berbeda seakan tak terpisahkan oleh jarak maupun waktu yang sedang mengikis tajam.

Dipelukanya, aku terasa sangat damai, semua luka yang terpendam didalam hati sudah terobati. Pelukan ini, obat mujarab pelipur lara. Seluruh kelelahanku sudah terbayar lunas dan tak ada lagi yang perlu aku risaukan untuk hari ini. Aku membalas memeluknya sambil sesekali menciumi rambunya yang panjang terurai dan mewangi, rambutnya juga indah sebagian dikepang dengan diselipi hiasan batu safir berwarna biru.

Belum pernah sama sekali aku mencium harum seperti ini. Entah kenapa didalam pelukan wanita ini, aku menagis dan meneteskan air mata, seolah sudah tuntas semua perjalanan panjang dunia.

Tetesan air mataku jatuh berderai membasahi pundaknya, baju sutra putih tipis tersebut tak luput dari hujaman air ini, sehingga ia mengalir menembus dan membasahi kulitnya yang putih bersih. Perlahan ia melepaskan pelukan terikat. Lalu menatapku dengan matanya yang biru dan berkata.”kenapa tuan bersedih,”.sambutnya sambil menyapu linangan air mata buaya.

Lalu ia memanggil semua temanya yang berdiri seakan menunggu, untuk memberikan sebuah sambutan. Semua wanita ini datangan satu persatu, memberikan sebuah pelukan hangat dan diakhiri sebuah kecupan. Mereka mengatakan sambil berbisik. ”Jangan bersedih, kami menunggu mu,” kata mereka yang kudengar satu persatu.

Jumlah mereka sangat banyak dan semua melakukan hal ini, aku tidak ingat secara pasti, mungkin puluhan bahkan ratusan. Setelah mereka selesai terhadap diriku, salah satu dari mereka yang pertamakali menyambutku kembali menghampiri dan berkata. ”Tuan anda terlalu letih sudah sampai disini, ada apa gerangan yang membuat hati tuan risau,”tanyanya, kembalai seakan tahu kerisauan ini.

Lalu aku menjawab terima kasih banyak atas sambutan saudari-saudari, aku tidak tahu persis tempat apa ini dan siapakah kalian ini sebenarnya. Mereka semua kembali tersenyum dan kembali mendekat, mereka kembali mengusap kepala dan wajahku satu persatu lalu wanita yang tidak jauh tadi langsung berkata. Silakan tuan berkunjung lagi, kami disini sangat merindukan anda,”katanya sambil tersenyum dan mundur beberapa langkah kebelakang.

Aku ingat, wanita ini sangat berbeda dari sejumlah wanita lainya, ia mengenakan kalung khas ukiran dedaunan dan akar pohon waru yang sangat indah, warnanya biru safir menyal. Sambil tersenyum ia kembali melangkah dan memberikan sebuah benda dari batu biru miliknya.

Sambil mengusapku seolah merapikan baju, ia berpesan jagalah barang ini, “semua yang berada didepan mu hari ini adalah milikmu berikutnya,”.tuturnya lembut menyapu daun telinga.

Wanita ini menggenggam tangan, ia seakan meyakinkan barang pemberianya masih tetap terjaga, ia meneteskan air mata, tanda perpisahan panjang yang akan berlalu. Selendang hijau secepat kilat menyeretku dan menyapu hingga aku berada digugusan bintang.

Tanpa basa-basi lagi dia langsung menggulungku hingga aku kesulitan untuk bernapas. Aku rasakan gulungan itu semakin panas, lalu aku seakan dilempar dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tubuhku merasa panas terbakar dan remuk, ini seperti nyata. Angin yang beradu dengan tubuhku sangat terasa, walaupun angin tak secara langsung membentur tubuh, karena selendang hijau sudah menyelimuti badan ini terlebih dahulu.

Tak lama kejadian benturan keras dan rasa sesak itu aku rasakan secara mendadak, dada ini mulai terasa meledak. Aku berusaha mengambil napas banyak sehingga aku ulangi berkali-kali. Aku tersentak, melepas napas yang sangat panjang dari peraduanku, aku mencoba untuk sedikit tenang mencoba untuk duduk sambil tertegun. Aku baru ingat dan secepat mungkin melakukan kroscek, pengalaman aneh apa yang barusan terjadi. aku baru teringat genggaman tanganku masih erat dan terlalu erat untuk kubuka.

Aku rasakan memang ada sesuatu yang terdapat didalam genggaman tangan ini, setelah beberapa saat genggaman itu mulai melemah, sehingga aku dapat melihat barang apa gerangan yang tertanam didalamnya.
 
KATA PENULIS : Ternyata setelah berada cukup lama rasa kesepian dibalik tembok bercat kayu itu, banyak memetik pelajaran mengenai pengembangan diri pribadi. Didalam kegelapan dan biasnya cahaya yang masuk kedalam tembok bercat kayu, seluruh gambaran dan bayang keserakahan, kemunafikan, keegoisan, kelicikana dapat dengan jelas kita lihat.

Dan suara didalam diri kita sangat keras akan terdengar mengatakan penolakan.  

Ternyata akal kita tidak pernah merasa kesepian, tetapi hati nurani kita yang selalu merasa hidupnya sendiri dan teraniaya. Didalam kegelapan dan kesendirian banyak pelajaran sepiritual yang dapat kita pelajari, sehingga kita dapat mendengarkan kata hati dengan jelas ketimbang akal yang kerap kali dipengaruhi oleh emosi.

“ Tafakur didalam kesendirian lebih mendekatkan diri kepada tuhan, sehingga semua kebenaran dapat terlihat denga jelas. Carilah jiwa anda didalam kesendirian dan temukalah jiwa anda bersama tuhan ”.

Tidak ada komentar: