Kelam hitam lintasan
katulistiwa yang membahana diatas mega bertudung biru, selaput tipis halimun senja
mulai menyibak, membayang-banyang tak bergerak di anjangsana. Lingkaran retina
coklat berlatar sendu meliuk-Liuk meredam penat bercampur luka, hitam itu kini
telah mewarnai corak negri tak berpelangi.
Rupaya si tembok
kayu masih membatu. Didalam gelap, rentetan kumandang orasi masjid melintas
bergemuruh tanpa bertanya. Raga ini mulai menutup lelah, menikmati panggalian
nurani mencari makam dimana luka patah yang tersembunyi.
Dalam hitungan
detik. Teleportasi sudah terjadi. Lingkungan ini sudah mulai berkamuplase
menjadi hal-hal yang aneh dan penuh dengan misteri. Bajuku berbuku-buku dan
selendangku bisa menari-nari, seakan mereka mempunyai jiwa yang hidup.
Mereka bisa
bergerak, mereka bisa bicara mengungkapkan rasa, asa dan karsa. Mungkinkah itu
hanya sebuah keinginan terpendam, aku menginginkan hal yang ajaib dan semua hal
itu selalu patuh terhadap keingin pribadi yang kuat.
Mungkin kisah
selendang hijau yang penuh dengan kekuatan misteri bisa merubah semua laku, dan
sifat yang terpendam. Keinginan-keinginan frontal selalu memacu didalam deru.
Beginilah kisah si selendang hijau. Ia merupakan kendaraan, sang petualang
cinta yang terpendam.
Selendang itu
bisa berubah menjadi sayap, seolah menggantikan posisi menjadi sesuatu yang tak
terduga. Bahkan sayap ini bisa membaca pemilik hati yang tenggelam didalam
kesepian.
“Mau kemana hendak tuan kuantar” kata
selendang hijau yang kupakai. Aku bilang padanya agar terbang tinggi dan
bawalah aku kepulau yang paling terindah.
Selendang hijau
itu terbang secepat angin, sehingga aku bisa melintasi gugusan pulau-pulau
kapuk yang seakan tenggelam. Tibalah aku diatas sebuah pulau aneh, disana
banyak berkumpul para wanita yang tak terbayang indahnya, mereka semua sangat
muda, cantik dan juga bersinar. Aku tertegun, pulau apa gerangan yang dihiasi
kubah-kubah cantik berwarna-warni. Kubah itu mengedip seperti batu delima yang
bercahaya.
Ternyata
selendang hijau paham dengan kebingungan yang aku rasa, ia langsung membentang
panjang melebar dan menukik ke bawah. Sehingga aku terjatuh seperti anak kecil
yang bermain gitar.
Aku terkejut,
tangkapan selendang hijau sangat erat. Aku digenggam dan dibalut oleh sutra
hangat disekujur tubuh. Perlahan-lahan selendang hijau merenggang, sehingga
membawa aku kembali berdiri diatas sebuah tanah kusir yang tak bertuan.
Tanah ini
beergetar, semua berbatu kerikil putih mengkilat serta mengeluarkan cahaya yang
ajaib. Memang wujudnya putih bersih, tetapi mereka terkadang mengeluarkan
cahaya yang berwarna-warni. Jika udara atau angin yang berhembus, sebagian batu
ini mulai berwana kadang merah marjan, kadang hijau yagut, kadang kuning topas,
atau biru tromalin.
Cahaya indah itu Ada
juga yang mengikuti gerak langkah bayang-bayang lembayung rindang pepohonan
hijau yang berurat emas. Mereka semua memancar. Sungguh mistis pulau dibawah
katulistiwa. Selain sejuk indah berseri, hembusan angin juga sangat kekar harum
mewangi. Hampir setiap kaki melangkah, aroma buhur turki ikut menjebak dan
menggoda mengiringi jejak sang pejalan kaki.
Tak terlalu jauh
dari keindahan ini, suara-suara wanita muda terdengar. Sendau-gurau mereka
manja menggema halus sampai dihati. Hati ini tak merasa gentar, ingin menyingkap
permainan apa yang mereka lakukan dibibir sungai. Suara manja terdengar sangat
riang, tak ada kata kasar maupun nada tinggi yang menujukan kemarahan maupun
kesombongan hati.
Dibalik dedaunan
hijau yang bergelora itu, aku mengendap membuka sedikit demi sedikit tabir
penutup dedaunan. Aku melihat pakaian mereka serba putih dan terhiasi oleh
permata safir biru menyala. Batu itu menyala di sekitar rambut, tangan,
telinga, leher dan kaki wanita-wanita indah ini.
Ada salah seorang
dari mereka berbisik dengan temanya, dan teman satunya berkata dengan teman
yang lainya. Mereka semua kembali ketepian sungai sambil menatap ke arah
rindang pepohonan, mereka tahu keberadan tamu tak diundang. Dengan senyuman
ramah, sambil melambaikan tangan, mereka memanggil, seolah mengajak bergabung dalam
permainan yang mereka mainkan.
Aku terdesak
untuk keluar dari rerimbunan hijau pohon tua, segera menujukan jati diri yang
sebenarnya bersama kawalan si selendang hijau. Salah satu dari mereka datang
meghampiriku, langsung melemparkan sebuah sambutan disertai senyuman. ”Kami
sangat tersangjung atas keramahan tuan, yang telah sudi mampir ke pemukiman
kami,”kata salah satu dari mereka yang belum aku kenali.
Tanpa ragu
perempuan muda bercahaya dan mempesona ini, sungguh tak pernah aku bayangkan.
ia langsung mengusapkan kedua tangan ke dadaku. Lalu mengusap wajahku. Dari
jarak yang sangat dekat sehingga aku tak bisa bergerak, aku sungguh sangat
terpukau oleh kecantikannya, dan sudah dipastikan senyuman mereka memanglah
sangat indah.
Aku melihat
senyuman yang ramah dari matanya yang sendu, seakan gelap cakrawala telah sirna
dibalik roman biru katulistiwa, ia sangat puas setelah menyentuh wajahku.
Sesekali lagi ia mengusapkan tanganya diwajah ini sambil memejamkan mata, ia
menciumi kepalaku dan megakhiri dengan sebuah pelukan hangat dan erat. Memang
rasanya berbeda seakan tak terpisahkan oleh jarak maupun waktu yang sedang
mengikis tajam.

Belum pernah sama
sekali aku mencium harum seperti ini. Entah kenapa didalam pelukan wanita ini,
aku menagis dan meneteskan air mata, seolah sudah tuntas semua perjalanan
panjang dunia.
Tetesan air
mataku jatuh berderai membasahi pundaknya, baju sutra putih tipis tersebut tak
luput dari hujaman air ini, sehingga ia mengalir menembus dan membasahi
kulitnya yang putih bersih. Perlahan ia melepaskan pelukan terikat. Lalu menatapku
dengan matanya yang biru dan berkata.”kenapa tuan bersedih,”.sambutnya sambil
menyapu linangan air mata buaya.
Lalu ia memanggil
semua temanya yang berdiri seakan menunggu, untuk memberikan sebuah sambutan.
Semua wanita ini datangan satu persatu, memberikan sebuah pelukan hangat dan
diakhiri sebuah kecupan. Mereka mengatakan sambil berbisik. ”Jangan bersedih, kami
menunggu mu,” kata mereka yang kudengar satu persatu.
Jumlah mereka
sangat banyak dan semua melakukan hal ini, aku tidak ingat secara pasti,
mungkin puluhan bahkan ratusan. Setelah mereka selesai terhadap diriku, salah
satu dari mereka yang pertamakali menyambutku kembali menghampiri dan berkata. ”Tuan
anda terlalu letih sudah sampai disini, ada apa gerangan yang membuat hati tuan
risau,”tanyanya, kembalai seakan tahu kerisauan ini.
Lalu aku menjawab
terima kasih banyak atas sambutan saudari-saudari, aku tidak tahu persis tempat
apa ini dan siapakah kalian ini sebenarnya. Mereka semua kembali tersenyum dan
kembali mendekat, mereka kembali mengusap kepala dan wajahku satu persatu lalu
wanita yang tidak jauh tadi langsung berkata. Silakan tuan berkunjung lagi,
kami disini sangat merindukan anda,”katanya sambil tersenyum dan mundur
beberapa langkah kebelakang.
Aku ingat, wanita
ini sangat berbeda dari sejumlah wanita lainya, ia mengenakan kalung khas
ukiran dedaunan dan akar pohon waru yang sangat indah, warnanya biru safir
menyal. Sambil tersenyum ia kembali melangkah dan memberikan sebuah benda dari
batu biru miliknya.
Sambil mengusapku
seolah merapikan baju, ia berpesan jagalah barang ini, “semua yang berada
didepan mu hari ini adalah milikmu berikutnya,”.tuturnya lembut menyapu daun
telinga.
Wanita ini
menggenggam tangan, ia seakan meyakinkan barang pemberianya masih tetap
terjaga, ia meneteskan air mata, tanda perpisahan panjang yang akan berlalu.
Selendang hijau secepat kilat menyeretku dan menyapu hingga aku berada
digugusan bintang.
Tanpa basa-basi
lagi dia langsung menggulungku hingga aku kesulitan untuk bernapas. Aku rasakan
gulungan itu semakin panas, lalu aku seakan dilempar dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Tubuhku merasa panas terbakar dan remuk, ini seperti nyata.
Angin yang beradu dengan tubuhku sangat terasa, walaupun angin tak secara
langsung membentur tubuh, karena selendang hijau sudah menyelimuti badan ini
terlebih dahulu.
Tak lama kejadian
benturan keras dan rasa sesak itu aku rasakan secara mendadak, dada ini mulai
terasa meledak. Aku berusaha mengambil napas banyak sehingga aku ulangi
berkali-kali. Aku tersentak, melepas napas yang sangat panjang dari peraduanku,
aku mencoba untuk sedikit tenang mencoba untuk duduk sambil tertegun. Aku baru
ingat dan secepat mungkin melakukan kroscek, pengalaman aneh apa yang barusan
terjadi. aku baru teringat genggaman tanganku masih erat dan terlalu erat untuk
kubuka.
Aku rasakan
memang ada sesuatu yang terdapat didalam genggaman tangan ini, setelah beberapa
saat genggaman itu mulai melemah, sehingga aku dapat melihat barang apa gerangan
yang tertanam didalamnya.
KATA PENULIS : Ternyata setelah berada cukup lama rasa
kesepian dibalik tembok bercat kayu itu, banyak memetik pelajaran mengenai
pengembangan diri pribadi. Didalam kegelapan dan biasnya cahaya yang masuk
kedalam tembok bercat kayu, seluruh gambaran dan bayang keserakahan,
kemunafikan, keegoisan, kelicikana dapat dengan jelas kita lihat.
Dan suara didalam diri kita sangat keras akan terdengar
mengatakan penolakan.
Ternyata akal kita tidak pernah merasa kesepian, tetapi hati
nurani kita yang selalu merasa hidupnya sendiri dan teraniaya. Didalam
kegelapan dan kesendirian banyak pelajaran sepiritual yang dapat kita pelajari,
sehingga kita dapat mendengarkan kata hati dengan jelas ketimbang akal yang
kerap kali dipengaruhi oleh emosi.
“ Tafakur didalam kesendirian lebih mendekatkan diri kepada
tuhan, sehingga semua kebenaran dapat terlihat denga jelas. Carilah jiwa anda
didalam kesendirian dan temukalah jiwa anda bersama tuhan ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar