Kamis, 21 November 2013

* Hilangnya Harapan


Dibalik lelapku tertidur bermandikan sinar rembulan dan gugusan tabir biru yang membentang semakin membuatku tersa berat, perjalanan ini sungguh masih sangat panjang, dibawah pintu yang belum terbuka aku masih menunggu harapan bersama kelelahan dan tanda tanya. Permata biru besar berada diatas pintu semakin cantik dengan sorot kilau cahaya rembulan, aku terus memandanginya, berharap ada sesuatu perubahan cepat, tetapi kantuk ku terlalu cepat, sehingga membius harap didalam kebisuan.

Tak lama suara suara wanita itu mulai menggoda menepis mimpi didalam kalbu, mereka seolah berbisik, bermain-main dan saling menggoda. Aduhaii,,,,, hati pilu yang kunanti, kenapa tak kunjung masuk kedalam pemukiman ini. Tawa-tawa kecil senduh mereka mulai beradu dengan desiran ombak, gumuruh angin itu sudah memberikan pengabaran, ada sesuatu keindahan dibalik tembok emas berukir ini.

Sentakan-sentakan gemericik gelang kaki mereka beradu, seolah saling berkejaran bermain bersama disebuah taman, hayalku mulai membuka, aku hanya terduduk dibawah batang yang dikelilingi mereka, pelukan mereka yang lembut dan senyuman mereka yang manja, kini semakin menghiasi dibawah alam sadarku, mereka semua indah sehingga membuat kebosanan menghilang dengan sangat cepat.

Angin laut yang bergemericik, kini menjadi pelantaran rindu tak terjawab, tumpahan rasa dan karsa melodi kasih, mulai meranjak menjumpai semua kekasih, mereka semua berkata dalam satu makna abadi, kekakal tak terbantah maupun tergugat “kasih”.

Suara-suara lumba-lumba malam kini mengganggu tidur sang pemimpi¸ia terbangun dibawah sadar, pulau tak berkarang ini rupanya bergetar, goresan-goresan bibir dataran terapung kini berjatuhan, serempak pudarnya mimpi si kurus dalam hayal.
   
Retakanya mengacaukan pikiran malam, jeritan-jeritan didalam hayal sangat memekakan telinga, deru air bergetar menerima lontaran dataran yang terhempas. Aku terjatuh, aku terlunta-lunta didalam gemuruh, darantan yang ku tinjak sekarang sudah basah terbenam bersama hilangnnya si biru.

Napasku tersekal menahan air masuk melewati hidung, telinga, mata mulut dan semua poro-pori didasar sana. Pintu besar itu menimpa seolah sengaja menyeret tubuh sipengelana muda ke dasar samudara. “Aduhai pintu emas yang besar, ke indahanmu kini aku takuti, permata berat dikelilingi hiasan perak kini sudah memusihiku, beratnya teramat, aku terikat dan tak bergerak, bagaimana caranya aku menghidarimu,”

Gerbang besar itu semakin kencang, memaksa si kurus terhimpit dibawah nasibnya yang suram tak menentu antara pasrah dan pertarungan jiwa. Napasnya sudah habis terputus oleh waktu dan beratnya keindahan. Mana ornamen indah beserta relip berhiasakan permata, mereka semua kini hanya ingin membunuh, tak ada waktu sedikitpun untuk mengagumi ini. Beratnya emas beserta perak dan permata itu sudah mencapai palung terdalam, bunyi hentakan sangat terasa oleh sikurus yang sedang koma.

Ia sedikit terhentak melihat seberkas cahaya dari selangkang gerbang dua yang terbuka. Gelombang air atas itu terlihat bening sebening mentari terbit di atas laut di pagi ini. Dia hanya terdiam, melihat selangkang gerbang emas mulai kembali menutup lagi. Didalam tepia benak bercampur harap, “mungkinkah ada kesempatan kedua untuk melihat mentari tadi,”.

Matanya terpejam, napasnya terputus, gelombang air kini mulai memasuki tenggorokan, melintasi mulut hingga ke dalam organ. Tawa-tawa wanita muda itu semakin menggoda, suara mereka terlalu dekat sedekat nafas membelah dada kita. Sekali lagi si kurus mencoba menyela napas yang tersedak.”Bangunlah,,,,,bangunlah,,,bangunlah anda telah sampai, kini kami sudah menunggu” kata salah satu dari mereka.

Tidak ada komentar: