Aku sudah tidak
faham mendengar lagenda negri Daut, mereka bilang ia mengajarkan tentang cinta.
Lintasan lantai kaca sang putra merupakan bangunan terindah repleksi dari
perasaan, mereka membaca kitab-kitab mahabah agar menjadi seorang kekasih.
Sungguh benar apa yang diajarkannya, ia selalu mengajarkan terlungkup sujud
saat menghadap sang kekasih.
Tetapi sayang
kuil-kuil indah milik putra Daut itu kini semakin diperebutkan, tak nampak
indah lagi bangunan yang di gempur berpuluh ribu tahun silam. Tetapi mereka
terus berperang, memperebutakan tempat pengajaran cinta serta pengorbanan.
Apakah aku sudah pernah menceritakan tentang munajad sang pencinta. Ia
merupakan seoarang raja sekaligus pengembala domba ditanah putih berbatu.
Orang-orang
bercerita hampir setiap hari ia tersungkur dan menangis untuk sang kekasih, ia
tidak bergerak sama sekali ketika menghadapnya, ia terlalu berat untuk
menanggalkannya, sehingga semua yang menjadi miliknya dikorban hanya untuk satu
tujuan dan mendapatkan penerimaan dari satu sang kekasih.
Tujuan itu tak
semudah membalikan telapak tangan, gelombang air tercipta sesuai dengan
kekuatan batu yang dilempar. Ia memcoba membuktikan dengan pengorbanan, semua
sudah di gadaikan tidak ada lagi tersisa, hanya songgok tubuh yang tak bergerak
ditumbuhi benalu, perutnya terlalu panas karena tidak memakan sesuatu apapun. Sehingga
membuat sekeliing tanaman meranggas di sekitar tubuhnya. Ia tidak mati dan
tidak juga bergerak hanya berdiam diri dan mengucap-ucap nama sang kekasih.
Hampir semua
orang kampung gembala itu menyebutnya rajanya sudah menggila, ia terkena
inveksi debu karena terlalu banyak bersujutr dan tersungkur menangis. Padahal
tidak ada balasan selama beberapa abad saat ia menangisi sang kekasih. Sang
raja akhirnya mengambil sebuah kesimpulan pribadi untuk dirinya sendiri, ia tak
mau terpengaruh oleh bisikan orang-orang telanjang, ia lebih memilih duduk dan
tersungkur di balik peraduan.
Setelah beberapa
lama ia berdiam diri lalu keluar dari peraduanya. Semua orang di desa itu
terkejut dan mengatakan si gila sudah kembali sembuh. Mereka mulai
bertanya-tanya antara yang satu dengan yang lainya lagi, mereka beramai-ramai
mencoba mendatangi si gila untuk mengajak berbincang-bincang. Mereka berkata
hai gila, apa yang sudah kau peroleh dari pengobanan cintamu, tidakah kau lihat
dunia ini terlalu luas dan masih banyak cinta-cinta yang belum engkau temukan.
Ia menjawab yang
aku temukan hanya kesenanganya semata, dan aku cukup puas sudah membuat
kesenanganya. Mereka kembali bingung dan berkumpul seperti domba-domba yang
digiring, lalu mereka berpikir si gila sudah telalu tua dengan pengorbanan yang
tak terjawab.
Mereka meminta
dibacakan isi mushab-mushab yang terlepas, seolah ingin mengorek kesalahan yang
berada dipengalan-penggalan bait suci. Mereka tahu si gila sangat menyukai
makna-makna cinta yang terkandung didalamnya, kata-kata itulah yang membuatnya
seolah tak bernyawa, Sehingga mengasingkan diri untuk si pemilik mushab yang
berkata-kata didalamnya.
Ia beranjak mulai
menaiki mibar membuka lembaran-lembaran suci, mereka berkata dengarkanlah
kata-kata yang dibacakanya, mungkin ada didalamnya petuah untuk menjadi
orang-orang gila seperti dia. Dengan nada yang sangat keras si gila melantunkan
bait demi bait yang ia baca dari lembaran tua.
Suaranya
melambung tinggi dan menukik rendah, getaran nada dan makna yang disampaikanya
bergelombang indah, sehingga mereka semua yang mendengar terhanyut didalam
lantunan si gila.
Mereka tak sempat
berkata-kata, karena ikut mengalir didalam bait-bait si tua, ketika sampai pada
kata-kata cinta dan pembalasan. Nada si gila meninggi mencabut seluruh napasnya
yang di akhiri dengan tangisan lirih, ia kembali menyabung bait-bait suci itu
dengan elok, indah dan seluruh cintanya yang meradang.
Ia terus meninggi
meledak-ledak didalam pembahasan pembalasan, ia terlihat sangat mendalam
mengenai bait-bait ini. Si gila memang pembaca mushab yang handal, ia membaca
dengan seluruh denyut nadih dan hatinya, di sela-sela bait mengenai kasih dan
pengorbanan.
Benar tidak ada
yang meragukanya dalam membaca bait ini. Di akhir kata-kata yang mereka
ragukan, si gila kembali mengulang beberapa kata mistis, sehingga ada beberapa
kata yang membuatnya tak sanggup berdiri. Bebebarapa kata yang membuatnya tak
sanggup melihat, dan kata-kata itulah yang membuatnya bertahan selama ini.
Dengan satu kali tarikan suara lantang si gila kembali lagi meninggi, mencabut
napas pada akarnya.
”Tidak ada satu
tetes darahpun yang tidak dibayar, apakah yang membuatmu mengingkari nikmat
ini, nikmat tuhan mana yang engkau dustakan, cukuplah aku sebagai perjanjian
bagimu saat ini,”gumam si gila didalam hati.
Tanpa sadar si
gila tak sadarkan diri, napasnya tercabut hingga kedalam rongga-rongga
keparauan, setelah jeritanya meluap-luap. Ia terjatuh terjungkal tersungkur
ketanah, ia tak sadarkan diri sehingga membisu diatas lumpur. Lantunan bait
yang menggema kini tak bersuara, hening tertimbun bersama guyuran rintik-rintik
hujan kerinduan.
Si gila tersadar
karena hujan rindu itu sudah membangunkanya, ia ingat karena sudah berjanji
kepada mereka untuk membacakan bait-bait mushab. Sehingga dengan sekuat tenaga
ia berusaha kembali berdiri. Suasana hening tersebut mulai tampak berubah dalam
sekejab, si gila memperhatikan kedepan belakang samping kiri dan kanan, kemana
mereka yang meminta aku membacakan bait ini,? mereka semua tidak bantah-membantah
lagi.
Akhirnya si gila
menagis meraung meronta-ronta tanpa kendali didalam pikiranya, ratusan bahkan
ribuan orang yang memintanya tadi sudah menggelapar tak bernyawa. Banyak
kepingan-kepingan batu pecah memecah dibuatnya. Akhirnya ia berjalan
mengelilingi serpihan-serpihan tubuh yang terbelah, pecah memecah dan
terpisah-pisah itu.
Sambil menangis
ia kembali berkata, kenapa kalian semua terbunuh, terlalu dalamkah cinta yang
aku sampaikan kepada kalian. Sehingga membuat kepingan kepingan tubuh kalian
berserakan tak beraturan disini.
Si gila kembali
kedalam peraduanya, ia hanya menangis dan tak sanggup keluar lagi. Ia kembali
membisu dan hanya membisikan kata-kata cintanya, lantuna pujian-pujian itu
sudah banyak menghilangkan nyawa dalam sekejab, sehingga tak ada yang mau
kembali mendengarkan lantuna-lantunan indah yang mencapai pada puncaknya.
Penulis :Belum ada neraca yang dapat mengukur
kekuatan cinta kepada sang khalik, bahkan orang-orang terdahulu mengatakan
puncak dari kerinduan kepada tuhan itu kematian. Sehingga mereka dapat merasa
lebih dekat karena jiwa mereka terasa sudah dikembalikan kepada sang pemilik.
Banyak aliran yang mengajarkan, akal tidak akan mampu menyaingi
kekuasaan tuhan. Karena sifat rahmat serta kasih sayang sang khalik, mereka
tidak mau mengisi sesuatu, selain hati yang tertuju kepada sang pencipta.
Golongan tersebut berpikir jiwa kehidupan ini merupakan amanah
yang harus mereka pertanggung jawabkan. Tetapi puncak kerinduan kepada sang
pemilik memang tidak bisa diukur, sehingga mereka membiarkan pemilik tersebut
mengisi seluruh hati mereka dengan kekuasaanya, dan menjadikan hati mereka
sebagai kekasih seutuhnya.
mereka mengembalikan jiwa tersebut kepada pemiliknya, dan
membiarkan kekuasaan itu digenggam oleh kekasih yang memandangnya dengan
seluruh kekuasaanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar