Selasa, 19 November 2013

* Lantunan Cinta Si Gila



Aku sudah tidak faham mendengar lagenda negri Daut, mereka bilang ia mengajarkan tentang cinta. Lintasan lantai kaca sang putra merupakan bangunan terindah repleksi dari perasaan, mereka membaca kitab-kitab mahabah agar menjadi seorang kekasih. Sungguh benar apa yang diajarkannya, ia selalu mengajarkan terlungkup sujud saat menghadap sang kekasih.

Tetapi sayang kuil-kuil indah milik putra Daut itu kini semakin diperebutkan, tak nampak indah lagi bangunan yang di gempur berpuluh ribu tahun silam. Tetapi mereka terus berperang, memperebutakan tempat pengajaran cinta serta pengorbanan. Apakah aku sudah pernah menceritakan tentang munajad sang pencinta. Ia merupakan seoarang raja sekaligus pengembala domba ditanah putih berbatu.

Orang-orang bercerita hampir setiap hari ia tersungkur dan menangis untuk sang kekasih, ia tidak bergerak sama sekali ketika menghadapnya, ia terlalu berat untuk menanggalkannya, sehingga semua yang menjadi miliknya dikorban hanya untuk satu tujuan dan mendapatkan penerimaan dari satu sang kekasih. 

Tujuan itu tak semudah membalikan telapak tangan, gelombang air tercipta sesuai dengan kekuatan batu yang dilempar. Ia memcoba membuktikan dengan pengorbanan, semua sudah di gadaikan tidak ada lagi tersisa, hanya songgok tubuh yang tak bergerak ditumbuhi benalu, perutnya terlalu panas karena tidak memakan sesuatu apapun. Sehingga membuat sekeliing tanaman meranggas di sekitar tubuhnya. Ia tidak mati dan tidak juga bergerak hanya berdiam diri dan mengucap-ucap nama sang kekasih.

Hampir semua orang kampung gembala itu menyebutnya rajanya sudah menggila, ia terkena inveksi debu karena terlalu banyak bersujutr dan tersungkur menangis. Padahal tidak ada balasan selama beberapa abad saat ia menangisi sang kekasih. Sang raja akhirnya mengambil sebuah kesimpulan pribadi untuk dirinya sendiri, ia tak mau terpengaruh oleh bisikan orang-orang telanjang, ia lebih memilih duduk dan tersungkur di balik peraduan.

Setelah beberapa lama ia berdiam diri lalu keluar dari peraduanya. Semua orang di desa itu terkejut dan mengatakan si gila sudah kembali sembuh. Mereka mulai bertanya-tanya antara yang satu dengan yang lainya lagi, mereka beramai-ramai mencoba mendatangi si gila untuk mengajak berbincang-bincang. Mereka berkata hai gila, apa yang sudah kau peroleh dari pengobanan cintamu, tidakah kau lihat dunia ini terlalu luas dan masih banyak cinta-cinta yang belum engkau temukan.

Ia menjawab yang aku temukan hanya kesenanganya semata, dan aku cukup puas sudah membuat kesenanganya. Mereka kembali bingung dan berkumpul seperti domba-domba yang digiring, lalu mereka berpikir si gila sudah telalu tua dengan pengorbanan yang tak terjawab.

Mereka meminta dibacakan isi mushab-mushab yang terlepas, seolah ingin mengorek kesalahan yang berada dipengalan-penggalan bait suci. Mereka tahu si gila sangat menyukai makna-makna cinta yang terkandung didalamnya, kata-kata itulah yang membuatnya seolah tak bernyawa, Sehingga mengasingkan diri untuk si pemilik mushab yang berkata-kata didalamnya.

Ia beranjak mulai menaiki mibar membuka lembaran-lembaran suci, mereka berkata dengarkanlah kata-kata yang dibacakanya, mungkin ada didalamnya petuah untuk menjadi orang-orang gila seperti dia. Dengan nada yang sangat keras si gila melantunkan bait demi bait yang ia baca dari lembaran tua.

Suaranya melambung tinggi dan menukik rendah, getaran nada dan makna yang disampaikanya bergelombang indah, sehingga mereka semua yang mendengar terhanyut didalam lantunan si gila.

Mereka tak sempat berkata-kata, karena ikut mengalir didalam bait-bait si tua, ketika sampai pada kata-kata cinta dan pembalasan. Nada si gila meninggi mencabut seluruh napasnya yang di akhiri dengan tangisan lirih, ia kembali menyabung bait-bait suci itu dengan elok, indah dan seluruh cintanya yang meradang.

Ia terus meninggi meledak-ledak didalam pembahasan pembalasan, ia terlihat sangat mendalam mengenai bait-bait ini. Si gila memang pembaca mushab yang handal, ia membaca dengan seluruh denyut nadih dan hatinya, di sela-sela bait mengenai kasih dan pengorbanan.

Benar tidak ada yang meragukanya dalam membaca bait ini. Di akhir kata-kata yang mereka ragukan, si gila kembali mengulang beberapa kata mistis, sehingga ada beberapa kata yang membuatnya tak sanggup berdiri. Bebebarapa kata yang membuatnya tak sanggup melihat, dan kata-kata itulah yang membuatnya bertahan selama ini. Dengan satu kali tarikan suara lantang si gila kembali lagi meninggi, mencabut napas pada akarnya.

”Tidak ada satu tetes darahpun yang tidak dibayar, apakah yang membuatmu mengingkari nikmat ini, nikmat tuhan mana yang engkau dustakan, cukuplah aku sebagai perjanjian bagimu saat ini,”gumam si gila didalam hati.

Tanpa sadar si gila tak sadarkan diri, napasnya tercabut hingga kedalam rongga-rongga keparauan, setelah jeritanya meluap-luap. Ia terjatuh terjungkal tersungkur ketanah, ia tak sadarkan diri sehingga membisu diatas lumpur. Lantunan bait yang menggema kini tak bersuara, hening tertimbun bersama guyuran rintik-rintik hujan kerinduan.

Si gila tersadar karena hujan rindu itu sudah membangunkanya, ia ingat karena sudah berjanji kepada mereka untuk membacakan bait-bait mushab. Sehingga dengan sekuat tenaga ia berusaha kembali berdiri. Suasana hening tersebut mulai tampak berubah dalam sekejab, si gila memperhatikan kedepan belakang samping kiri dan kanan, kemana mereka yang meminta aku membacakan bait ini,? mereka semua tidak bantah-membantah lagi.

Akhirnya si gila menagis meraung meronta-ronta tanpa kendali didalam pikiranya, ratusan bahkan ribuan orang yang memintanya tadi sudah menggelapar tak bernyawa. Banyak kepingan-kepingan batu pecah memecah dibuatnya. Akhirnya ia berjalan mengelilingi serpihan-serpihan tubuh yang terbelah, pecah memecah dan terpisah-pisah itu.

Sambil menangis ia kembali berkata, kenapa kalian semua terbunuh, terlalu dalamkah cinta yang aku sampaikan kepada kalian. Sehingga membuat kepingan kepingan tubuh kalian berserakan tak beraturan disini.        

Si gila kembali kedalam peraduanya, ia hanya menangis dan tak sanggup keluar lagi. Ia kembali membisu dan hanya membisikan kata-kata cintanya, lantuna pujian-pujian itu sudah banyak menghilangkan nyawa dalam sekejab, sehingga tak ada yang mau kembali mendengarkan lantuna-lantunan indah yang mencapai pada puncaknya.

Penulis :Belum ada neraca yang dapat mengukur kekuatan cinta kepada sang khalik, bahkan orang-orang terdahulu mengatakan puncak dari kerinduan kepada tuhan itu kematian. Sehingga mereka dapat merasa lebih dekat karena jiwa mereka terasa sudah dikembalikan kepada sang pemilik.

Banyak aliran yang mengajarkan, akal tidak akan mampu menyaingi kekuasaan tuhan. Karena sifat rahmat serta kasih sayang sang khalik, mereka tidak mau mengisi sesuatu, selain hati yang tertuju kepada sang pencipta.

Golongan tersebut berpikir jiwa kehidupan ini merupakan amanah yang harus mereka pertanggung jawabkan. Tetapi puncak kerinduan kepada sang pemilik memang tidak bisa diukur, sehingga mereka membiarkan pemilik tersebut mengisi seluruh hati mereka dengan kekuasaanya, dan menjadikan hati mereka sebagai kekasih seutuhnya.

mereka mengembalikan jiwa tersebut kepada pemiliknya, dan membiarkan kekuasaan itu digenggam oleh kekasih yang memandangnya dengan seluruh kekuasaanya.

Tidak ada komentar: